Aku anak pertama di keluargaku. Aku
mempunyai seorang adik laki-laki. Jarak umur kami tak jauh berbeda. Jarak aku
dengan Putra, adikku hanya dua tahun. Perbedaan umur yang dekat itu, membuat
kami sering bertengkar. Tak ada rasa ingin mengalah dariku bahkan untuk urusan
yang kecil sekali pun. Pukulan dan tendangan pun sering mendarat ditubuh untuk
mempertahankan keras kepala masing-masing. Terkadang
akan bertambah dengan luka lebam dari ibu. Ayunan
dari ikat pingang akan mendarat ditubuh kami jika ibu tahu kami berkelahi.
Ya, ibu sangat
keras dalam mendidik kami. Ayunan dari ikat pingang serta pukulan dari tangannya
yang kasar menjadi pelurus saat kami bertindak tidak sesuai dengan keinginannya.
Dulu aku sering mengadu pada ayah tentang pukulan yang ku terima dari ibu.
Namun setelah tiga kali aku tak pernah mengadu lagi. Aduanku tak pernah membuahkan hasil. Ayah tak pernah memarahi ibu. Ayah yang tak melarang ibu untuk memukuli kami. Lebih parah, ayah memarahi kami untuk tidak
memancing amarah ibu sehingga tak perlu dipukul.
Jika anak-anak
kecil punya kenangan akan dimanja dan dijadikan bak putri raja, jangan tanya
kenangan itu padaku. Ibu tak pernah membelikan aku boneka ataupun mainan peralatan
dapur untuk main masak-masakan. Baju lebaran pun hanya ayah yang membelikannya.
Ya, ayahlah yang membeli mainan untukku dan Putra. Hanya ayah yang memanjakan
kami.
Namun, karena
seorang ayah yang memanjakan, mainannya pun mainan untuk anak laki-laki. Ayah
membelikan aku pistol-pistolan, mulai dari pistol air, pistol yang mengelurkan
berbagai macam bunyi, bahkan pistol angin. Ayah pun membelikan aku
mobil-mobilan. Baju yang dibelikan pun lebih banyak berupa kaos dan celana. Hadiah
mainan paling besar yang ku terima adalah sepeda yang ayah beli di pasar loak.
Aku merasa lebih dekat
dengan ayah walau waktu berssamaya
relatif singkat. Ayah lebih banyak menhabiskan waktunya di
bengkel, berangkat subuh hari
dan pulang lepas magrib. Sedangkan dengan
ibu berbanding terbalik. Setiap hari dari pagi sampai petang ibu berada di
rumah. Walaupun waktuku lebih banyak dihabiskan
bersama ibu, tapi aku tak merasa dekat denagnnya. Kenangan yang ku ingat
tentang ibu lebih banyak berisi mengenai pukulan tangan dan ayunan ikat pingangnya
kepadaku.
Hampir tiap hari
ibu memarahiku. Entah itu karena masalah dagangan ibu yang tak laku. Entah
karena masakannya yang tidak enak. Entah karena aku yang banyak bermain. Semua
hal yang tak berjalan sesuai dengan keinginan ibu dan membuatnya marah akan
dilampiaskannya kepadaku dan Putra. Aku tak mengerti mengapa ibu melakukan hal
itu. Aku tak memahami apa yang membuat ibu bertindak kasar kepada kami.
Ketidakmengertianku membuatku membenci ibu. Menganggap bahwa ia tak ubahnya
seperti nenek sihir yang ada di cerita-cerita dongeng.
Ketika
beranjak remaja, aku mulai memberontak terhadap
perlakuan ibu. Apalagi masa puberitas
membuat keegosian dan kelabilan dalam diriku tak ingin mendapat perlakuan semena-mena dan kasar. Ya,
saat aku duduk di bangku Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, aku merasa sangat
malang mempunyai ibu yang tak bisa mengerti kebutuhanku. Tak mempunyai ibu
untuk tempat berbagi seperti teman-temanku. Aku pun selalu enggan untuk pulang
ke rumah.
“Kenapa kau
selalu pulang sore?” ,tanya ibu saat aku baru saja sampai di rumah.
“Sekolah sore”,
jawabku pelan karena rasa capek yang kurasakan.
“Ya, tapi
sekolah soremu itu selesai jam 4. Kau malah pulang jam 6. Kemana saja?” omel
ibu.
“Main, ngilangin stress”, bentakku mulai merasa
jengkel.
“Anak kecil bisa
stress. Kamu aja yang sok stress.”, ejek ibu terhadap jawabanku.
“Harusnya kamu tiru si Lina, anak tetangga
sebelah. Sekolahnya sama denganmu. Tapi ia selalu pulang lebih awal darimu.
Anaknya berbakti lagi. Ia selalu menolong ibunya membuat kue dagangan. Hmhm,
coba kamu, main mulu pikirannya.” omelan ibu bertambah panjang.
“ Hahhh….”, aku
mendesah kesal mendengar omelan ibu yang selalu berulang-ulang membandingkanku
dengan orang lain.
“Kamu seharusnya seperti
Lina, mau menolong ibu. Bukan main aja pikirannya Ayo sini! Bantu ibu mencetak
adonan kuenya,” perintah ibu ketus.
“Capek, baru
pulang juga”, ungkapku ketus.
“Habisnya kamu
main mulu sih. Sini bantu ibu, cepat!”, perintah ibu dengan nada membentak.
“Uh.. kenapa
nggak minta tolong Putra aja. Dari tadi dia kan juga main. Tuch sekarang ia
cuma nonton tv. Suruh dia. Putri capek”, bantahku yang tak ingin menolong ibu.
“Dia kan anak
laki-laki masa mencetak adonan kue”, timbal ibu dengan ketus.
“Lho apa bedanya
anak laki-laki ama perempuan kalau sama-sama
bisa bantu. Kalau dibedaain gini kenapa nggak ibu lahirkan aja aku sebagai anak
laki-laki. Nggak usah repot-repot aku membantuin ibu”, ungkapku yang juga
mengomel.
“Lho, dimintain
tolong malah membantah mulu. Anak durhaka kamu membantah ibu”, bentak ibuku
marah.
“Biar dibilang
anak durhaka daripada harus nyetak adonan kue. Capek”, bantahku tak kalah
sengit.
“Kamu mau ibu
pukul!!!”, ibuku berdiri dan segera mengambil ikat pingang yang tergantung.
“AYO PUKUL! NIH
SEKALIAN TAMPAR MUKANYA”, tantangku pada ibu.
Ibu yang awalnya
hendak memukul sepertinya urung dengan tantanganku. Ia Cuma berkata, “Andai anak ibu BUKAN KAMU.
COBA IBU PUNYA ANAK KAYAK SI LINA. Dia….”,
“Andai IBU BUKAN IBUKU”,
teriakku.
“Aku ingin ibu
seperti bu Mur. NGGAK PERNAH NGOMEL APALAGI MUKUL ANAKNYA”, bentakku yang bosan
dibanding-bandingkan.
Saat itu ibu langsung terdiam dan memalingkan
wajahnya. Ia kembali sibuk dengan adonan kuenya. Suasana rumah yang tadinya
penuh dengan teriakan tiba-tiba sunyi yang terdengar hanyalah suara Tv yang
dihidupkan Putra. Aku terdiam sejenak kemudian berlari, masuk ke dalam kamarku.
Lalu membanting pintu. Tak lupa segera menguncinya. Takut ibu mencoba mendobrak
masuk dan kemudian menghajarku. Namun, sepertinya tidak. Ibu tak mendekati
kamarku sama sekali.
Sejak
pertengkaran besar itu, hubungan ibu dan aku semakin menjauh. Ibu tak pernah
biacara padaku apalagi mengomel padaku. Saat itu kurasakan bahagia yang teramat
sangat karena telah dapat membuat ibu bungkam, dan tak mencampuri urusanku
lagi. Aku merasa euforia karena aku dapat bertindak semauku.
Perang dingin
ini pun berlarut terjadi bertahun-tahun tanpa terselesaikan sama sekali. Aku
tak pernah berbicara dengan ibu, dan sepertinya ibu juga enggan untuk
berbincang-bincang denganku. Bahkan ibu tak pernah lagi menyuruhku untuk
melakukan ini ataupun itu. Ibu lebih memilih untuk tak meminta bantuan
kepadaku. Aku pun begitu, lebih memilih untuk meminta kebutuhanku pada ayah.
Ayah yang tak banyak bicara, memenuhi
semua keinginanku. Namun, untuk urusan perut aku tetap makan masakan ibu. Agar
impas, aku pun mencuci
bekas makanku sendiri, bajuku sendiri, terkadang mencuci bagian ayah.
Perang itu
sedikit mereda beberapa tahun
kemudian saat aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di luar kota. Ibu
membantuku mempersiapkan segala hal, tanpa banyak berkat-kata ibu membelikan
aku perlengkapan yang aku butuhkan untuk nge-kost nantinya. Aku pun diam saja
dan tak mengucapkan terima kasih sama sekali. Aku hanya beranggapan bahwa itu
memang sebuah kewajiaban dari seorang ibu. Sebagai balasannya, aku melakukan
kewajibanku saat pergi dengan mencium tangannya. Hal yang sudah bertahun-tahun
tak kulakukan.
Suasana kota kelahiranku ini, tak
banyak berubah setelah aku tinggalkan hampir sepuluh tahun. Bangunannya tak
banyak yang berubah, hanya ada beberapa bangunan tingkat tiga di pasar. Aku masih dapat merasakan akrabnya lingkungan. Beberapa orang
masih mengenali aku yang sudah tak lama pulang,
mereka menyapaku dengan ramah. Namun ada sedikit pergeseran budaya, anak
mudanya lebih banyak memakai bahasa gaul seperti di sinetron-sinetron. Aku
malah merasa lucu dengan cara mereka berbicara karena bahasa gaul itu bercampur
dengan logat daerah yang sangat kental.
Aku
sengaja datang setelah mendapat
telepon dari ayah yang memintaku untuk segera pulang. Memang tak ada alasan
jelas yang diungkapkan ayah, namun aku tahu pasti ada hal penting. Tak mungkin ayah tak punya alasan. Apalagi,
selama ayah ini tak pernah menuntut apapun, tiba-tiba menuntut dengan keras
agar aku pulang . Sebenarnya ada terbesit rasa cemas namun semuanya ku tolak
dan kututupi dengan menikmati suasana kota tempatku dibesarkan sebelum aku
benar-benar pulang ke rumah.
Aku
pun merasa cangung untuk memasuki rumah. Rumah itu mengingatkanku atas
perlakuan ibu dulu. Kenangan masa kecil yang telah ku kubur bangkit satu
persatu. Begitu banyak bayang-bayang masa lalu yang silih berganti datang
sehingga membuatku sibuk menyeka ujung-ujung mataku. Terutama pertengkaran
hebat saat aku duduk dikelas 2 SLTP dulu. Ada rasa engan untuk memasuki rumah
yang telah lama ku tinggalkan itu. Sepertinya tanpa sadar aku telah mematung di
depan rumah. Aku tersentak ketika pintu rumah tiba-tiba terbuka.
“Putri?”,
ujar ayahku yang sepertinya terkejut melihat aku telah sampai di rumah.
“Ayo
kita segera berangkat! Ibu sudah menunggu di rumah sakit”, ujar ayah
tergesa-gesa seperti tak butuh jawaban dariku.
Aku
yang baru saja tersentak dari lamunan, sekarang bingung, tak mengerti maksud
ayah. Aku malah mematung lagi gerakan yang kubuat hanyalah mengerutkan dahi.
Ayah sepertinya sadar dengan kebingunganku. Segera saja mengambil koperku lalu
memasukanya ke dalam rumah. Kemudian ia menarikku dan mengajakku masuk ke dalam
mobil kijang kotak berwarna biru.
“Ayah,
kenapa ibu di rumah sakit? Siapa yang sakit?”,
tanyaku setelah mobil
meluncur di jalanan.
Ayah
yang jarang berbicara banyak itu pun akhirnya bercerita tentang penyakit ibu.
Sudah tiga tahun terakhir rupanya ibu menderita gagal ginjal. Penyebabnya
akibat penyakit diabetes dan juga hipertensi yang telah dialami ibu puluhan
tahun. Hampir tiap minggu ibu harus
bolak balik rumah sakit untuk menjalani cuci darah. Keadaannya bukan membaik
namun malah memburuk. Maka tiga hari yang lalu diadakan pencangkokan ginjal.
Namun, karena donor dari non keluarga tubuh ibu sepertinya menolak.
“Bukannya
keluarga besar ibu banyak di sini. Tante Risa, tante Rose, paman Mahmud. Kenapa
mereka nggak menjadi pendonor?”, tanyaku.
“Golongan
darahnya beda, darah ibumu AB”, jawab ayahku singkat.
Aku
tertegun. Bukankah darahku sama dengan ibu. Kenapa Ibu dan ayah tak pernah
membicarakannya? Kenapa aku tak diberitahu?Aku bisa mendonorkan ginjalku kan?
“Ibu
tak mau kau tahu keadaannya. Takut mengganggu aktivitasmu. Apalagi memintamu
menjadi donor. Ibu tak mau kau mendonorkan ginjalnya. Ibu takut kau tak bisa
lagi menjalankan tugasmu sebagai jurnalis, jika sistem tubuhmu tak bekerja
maksimal”, jelas ayah panjang lebar.
“Apakah
ibu sebegitu sayangnya padaku”, bisikku lirih.
“Tentu
seorang ibu sayang pada anaknya”, ujar ayahku.
Ayah yang pendiam mulai
bercerita mengenai usaha ibu untuk menunjukan kasih sayangnya padaku. Ibu telah
berubah sejak pertengkaran besarnya denganku. Ibulah selama ini yang berusaha
untuk memenuhi biaya kuliah dan hidupku selama berada di luar kota. Gaji ayah
di bengkel
hanya cukup untuk kebutuhan di rumah. Maka dari itu, ibu siang malam berusaha untuk
menjual kuenya, bahkan semua hasil jerih payah itu tak dinikmati ibu, langsung
mengalir masuk ke rekeningku. Ayah pun mengungkapkan betapa ibu sangat bangga
terhadap prestasiku, ia selalu membicarakannya kepada semua kenalannya. Tak
heran semua orang tetap mengingatku, walaupun sudah lama aku tak pulang.
Kunang-kunang—
Ya Allah, aku jahat sekali. Jahat! Dua
belas tahun yang lalu. Kejadian itu tidak akan pernah terlupakan. Tapi, aku
sungguh tak tahu perasaan ibu. Aku tak mengetahui bahwa aku telah menusuk dan
mengukir sempurna luka di hati ibu. Aku terisak. Perlahan air mata mulai
menganak sungai. Ya, Allah, seharusnya aku menyangi ibuku. Seharusnya aku tak
pura-pura lupa untuk selalu menghormatinnya.... Jika ada yang bertanya siapa
orang yang paling berjasa dan penting dalam hidupku? Maka itu sungguh jawabanya
adalah Ibu..Ibu..Ibu..ku.
Derap langkah bergema
di seluruh lorong rumah sakit. Dalam sekejap, aku sudah masuk ke dalam ruang
inap. Setengah berlari dengan wajah berlinang air mata. Aku langsung menghambur
ke ranjang di mana ibu berbaring. Sungguh
sesak aku menahan kalimat itu.
Kalimat yang tertahan selama bertahun-tahun. Sungguh aku takut kalimat itu
menjadi penyesalan dalam hidup yang tak tersampaikan. Aku bersimpuh, gemetar
menciumi tangan Ibu.
"Maafkan Putri ibu.... Sungguh ampunkan, Putri, Ibu....
Maafkan Putri yang dulu berharap ibu bukan ibu Putri! " Aku tersungkur. Tetap mengulangi permohonan
maaf walaupun aku tahu tadi mata ibu masih tertutup. Tak
ada jawaban ataupun gerakan dari tangan ibu yang telah mendingin.
“Kak, ibu baru saja pergi. Ibu pasti
telah memaafkan kakak. Karena tadi ibu juga minta maaf kepada kakak”, ujar
Putra seraya memelukku.
Ya, Allah aku terlambat. Ya Allah
bisakah kau kembalikan ibuku sebentar saja. Agar aku bisa meminta maaf langsung
padanya. Agar telinga ini bisa mendengar ia mengampunkan aku anaknya….
***
Bandung, Mei 2012