Senin, 25 Juni 2012

Potensi Bangsa


Membangkitkan Potensi Bangsa  Melalui Pemuda
Oleh
Dewi Alawiyah

Indonesia merupakan negara yang dirahmati Tuhan dengan potensi alam yang kaya. Kekayaan tanaman perkebunannya menempati urutan atas dari segi produksi di dunia seperti biji coklat, karet, kelapa sawit, cengkeh, dan kayu. Berbagai daerah di Indonesia juga dikenal sebagai penghasil bahan tambang seperti gas alam, nikel,tembaga, bauksit, timah, batu bara, emas, dan perak. Wilayah perairannya mencapai 7,9 juta km2 yang menyediakan potensi alam yang sangat besar bahkan 25% dari jenis hewan laut di dunia ditemukan di Indonesia[1].Akan tetapi setelah hampir 67 tahun merdeka, Indonesia tetap menjadi negara berkembang yang belum sejahtera dan makmur. Penduduk indonesia yang tercatat sebagai warga miskin  sebanyak 31,2 juta jiwa setara dengan 13,33 persen[2]. Kemiskinan pun diperparah dengan utang luar negeri yang mencapai 221,60 miliar dollar AS[3].
Indonesia yang memiliki potensi sumber daya alam besar telah lama menjadi perhatian dunia sejak dulu. Belanda dan Jepang, bangsa yang dulu menjajah Indoensia melihat dan merasakan potensi tersebut. Namun, sekarang potensi tersebut belum digarap dengan baik, masih terkubur dalam tidur yang lama. Potensi yang ada belum dikembangkan dan dinikmati bangsa sendiri. Munawar Fuad Noeh penulis buku Awakening The Giant: Membangunkan Negeri Raksasa yang Tertidur menamakannya sebagai The Sleeping Giant.
Cara membangkitkan “The Sleeping Giant” agar potensi tersebut dapat dinikmati bangsa sendiri adalah dengan mengelolanya sendiri. Ya, mengolah sumber daya alam negara dengan 230 juta sumber daya manusia yang telah tersedia. Potensi sumber daya manusia telah ditunjukan melalui sejarah panjang Indonesia, melalui para pemuda yang menjadi ujung tombak perubahan sebuah zaman. Seperti yang diungkapkan Hasan Albana salah satu tokoh reformasi dunia Islam bahwa sejak dulu hingga sekarang pemuda merupakan pilar kebangkitan. Para pemuda berkontribusi dalam kebangkitan nasional melalui Sumpah Pemuda, proklamasi kemerdekaan RI, lahirnya reformasi dan berbagai peristiwa bersejarah di tanah air lainnya.
 Para pemuda memiliki potensi yang luar biasa baik fisik maupun akal. Pemuda dapat menggarap sumber daya alam negara dengan kompetensi yang baik. Kompetensi yang muncul dengan adanya ilmu yang dilatih sesuai dengan pengalaman. Kompetensi yang bangkit melalui semangat pembelajan dengan usaha  memperluas cakrawala berpikir serta menjadi kesadaran bersama dalam menghadapi berbagai permasalahan bangsa
Untuk membangun kesadaran bersama sebagai pemuda pewaris bangsa, pelanjut estafet kepemimpinan, dan menjalankan masa depan diperlukan persiapan yang matang. Penanaman nilai relegius, moral, etika, nasionalisme, patriotisme seta nilai-nilai lainnya diperlukan untuk membentuk pemuda yang mempunyai cakrawala luas dan berprinsip. Sehingga terciptalah pemuda yang  secara proaktif  terjun dan berkontribusi dalam memajukan bangsa.  Pemuda yang berani mengorbankan waktu, tenaga, biaya dan pikiran, bahkan jiwa sekalipun untuk membangkitkan “The Giant Sleeping” menuju bangsa Indoensia yang sejahtera dan makmur.
                                                                                                           


Resensi Novel Kau, Aku, Dan Angpau Merah



Kisah Cinta Sederhana dengan Kaya Makna

Judul               :  Kau,Aku, Dan Angpau Merah
Pengarang       : Tere Liye
Peresensi         : Beauty Alawiyah
Tebal               : 512 halaman
Ukuran             : 13.5 x 20 cm
ISBN               :  978-979-22-7913-9
Penerbit           : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan           : Pertama, Januari 2012
Harga              : Rp. 72.000

Satu lagi karya Tere Liye hadir untuk pembaca sastra Indonesia berjudul  Kau, Aku, Dan Angpau Merah . Kali ini penulis menghadirkan novel dengan genre romantis mengenai cinta antara sepasang insan anak adam dan hawa. Nuansa romantis, syahdu, indah, dan menawan yang mewakili isi novel dapat langsung dirasakan saat melihat cover sampul buku yang berwarna merah jingga. Perpaduan warna yang senja dan sosok gadis berpayung menjadi cover depan tersebut sangat melambangakan kesederhanaan dan kesehajaan.
Kesan sederhana lain dapat ditangkap di cover belakang melalui kalimat Ah, kita tidak memerlukan sinopsis untuk memulai membaca cerita ini. Juga tidak memerlukan komentar dari orang-orang terkenal. Cukup dari teman, kerabat, tetangga sebelah rumah”. Kalimat tersebut menjadi daya tersendiri untuk segera membaca dan memiliki novel ini. Apalagi untuk pengemar Tere Liye yang akrab dengan kesehajaannya. Terbukti novel ini tidak mencantumkan komentar-komentar dari pembesar atau pun orang-orang terkenal. Komentar tentang novel ini berasal dari berbagai kalangan yang tak dikenal publik baik itu dari seorang calon dokter, seorang guru TK, seorang guru, bahkan seorang buruh perempuan,
Sedikit berbeda dengan novel-novel sebelumnya yang dapat membuat pembaca berlinangan air mata, novel ini lebih banyak mengajak pemacanya untuk tergelitik senyum bahkan tertawa. Terutama akibat ulah tokoh utama Borno yang memiliki sudut pandang yang unik dalam memandang kehidupan. Pembaca pun dapat tersenyum simpul atau bahkan tertawa terbahak-bahak ketika membaca kekonyolan dan kelakuan norak Borno, merasa gemas akan  kelakuan tokoh Bang Togar yang sering berlebihan, ataupun merasa sangat terharu ketika mengetahui kenyataan dibalik kisah cinta Borno dan Mei. Secara garis besar novel ini mengkisahkan kisah cinta seorang tokoh bernama Borno dengan perempuan bernama Mei.
Borno merupakan seorang pemuda yang sehari-harinya mengantungkan hidup pada sebuah sepit (perahu kecil terbuat dari kayu bermesin tempel yang berada di sepanjang sungai Kapuas) yang merupakan warisan dari ayahnya. Pria yang lulusan SMA itu menjadi tulang punggung keluarganya. Awalnya ia sempat bekerja sebagai buruh di pabrik ban dan juga penjaga karcis di sebuah kapal. Namun, takdir membawanya untuk menjalankan pekerjaan turun menurun di keluarganya, menjalankan sepit.
Di sepit itu ia bertemu dengan pujaan hatinya gadis berbaju kurung kuning dan berpayung merah. Hari itu sang gadis yang merupakan keturunan Tiang Hoa menaiki sepitnya dan tanpa sadar meninggalkan sebuah Angpau merah di atas sepitnya Borno. Angpau yang membuat pertemuan mereka tak hanya berakhir di sebagai pemberi jasa dan pengguna jasa. Angpau yang akan merubah kehidupan mereka. Angpau yang merupakan benang merah dari judul novel Aku, Kau dan Angpau Merah. Bruno sebagai pria yang digambarkan lurus, jujur dan berbudi pekerti yang baik berusaha untuk mengembalikan angpau tersebut kepada pemiliknya. Namun, ketika saat nya sudah mengembalikan angpau Bruno malah mengurungkan niatnya. Terlebih saat sang gadis mengetahui namanya, betapa malunya dia.
Borno bukanlah pria yang mudah putus asa, ia mencoba mencari kesempatan agar dapat berbincang kembali dengan gadis itu. Borno berusaha untuk menyabotase antrian sepit agar si gadis  tersebut menaiki perahunya. Mulailah setiap pagi Borno mengantri di urutan tiga belas untuk mencocokan waktu dengan gadis yang ia suka. Tak seperti kepercayaan banyak orang, angka tiga belas malah menjadi keberuntungan tersendiri bagi Borno. Walaupun ia berhasil dengan naiknya sang gadis ke atas sepitnya, namun untuk memulai percakapan dengan gadis yang ia sukai itu tidaklah mudah.
Namun, takdir mempertemukan mereka dalam sebuah  kebetulan yang tidak direncanakan yang membuat Borno dan sang gadis bisa bertemu dan berduaan. Bruno mengajari gadis yang bernama Mei itu untuk menjalankan sepit. Mereka pun merasakan manis dan getirnya perjalanan kisah cinta. Rajutan kisah cinta mereka pun tak mulus, ada pertemuan dan perpisahan, ada suka dan duka.
Seiring berjalannya waktu, akhirnya diketahui bahwa pertemuan Borno dengan Mei untuk pertama kalinya bukan di perahu sampit. Bukan saat angpau itu terjatuh. Jalinan takdir pertemuan mereka sudah terjadi saat mereka kecil. Ketika Bruno kecil yang berumur dua belas tahun harus kehilangan ayahnya. Ya, masa lalu mengikat mereka, keluarga mereka punya keterikatan yang tidak sangka-sangka. Keterikatan yang membuat orang tua Mei melarang hubungan mereka. Masa lalu itu menjadi klimaks konflik cinta mereka. “Tak seharusnya Mei bertemu dengan Abang Borno!” itulah yang diungkapkan Mei saat mengetahui jalinan masa lalu mereka. Dan itulah yang menjadi pertanyaan besar dalam kehidupan Borno.
Kisah cinta ini termasuk sederhana, antara seorang pemuda pengemudi sepit dengan seroang pemudi yang berprofesi sebagai guru. Alur cerita pun sederhana dimana setiap pemuda yang jatuh cinta berusaha untuk mendekati pujaan hatinya dengan berbagai cara. Seperti kebanyakan novel lainnya adanya penghambat untuk menyatukan cinta mereka. Kisah cinta yang sederhana tanpa perlu ada pihak ketiga yang menggoyahkan hati. Latar belakang kedua keluarga Borno pun sederhana, bukan dari keluarga mapan yang berada yang bergelimang harta seperti kebanyakan cerita cinta fantasi. Cerita cinta yang disugukan begitu nyata dan membumi.
Akan, tetapi perjalanan cinta mereka ditulis panjang sebanyak 500 halaman, namun dengan gaya tulisan Tere Liye tarik ulur hubungan cinta ini tak membosankan sama sekali. Namun, dengan piawai penulis dapat menceritakan hal remeh, kecil bahkan cendrung aneh untuk mewarnai cerita. Bahkan pada akhirnya, bagian-bagian yang dianggap remeh justru saling berkaitan menjalin sebuah rahasia.  Tokoh-tokoh pendukung cerita inipun tak kalah menariknya, punya karakter dan peran masing-masing dalam kehidupan Borno. Seperti Bang Togar, ketua perkumpulan pengemudi sepit yang menyebalkan tapi sangat setia kawan, Andi sahabat karib Borno, Pak tua yang sering memberi nasehat dan kata-kata bijak, Cik Taulani pemilik warung makanan yang sering menyuruh Borno. Selain itu berdatangan tokoh-tokoh baru yang makin meramaikan cerita.
Selain itu, pembaca dapat merenungkan kalimat-kalimat bijak yang bertebaran di sepanjang novel. Baik itu mengenai kehidupan, pekerajaan, dan juga percintaan.. Pak tua sebagai tokoh “yang dituakan” itu menjadi tempat bertanya dan dengan bijaksana dapat menjawab permasalahan hidup Borno. Ia menjadi tokoh yang memberikan solusi ketika Bruno mempunyai pertanyaan unik, menarik, dan ganjil yang tak bisa dijawab oleh orang lain. Ia pun dapat membantu Borno menemukan jawaban pertanyaan terbesar dalam hidupnya, permasalahan cinta sejati.

“Untuk orang-orang seperti kau, yang jujur atas kehidupan, bekerja keras, dan sederhana, definisi cinta sejati akan mengambil bentuk yang amat berbeda, amat menakjubkan.” – Hal. 175
“Borno, cinta hanyalah segumpal perasaan dalam hati. Sama halnya dengan gumpal perasaan senang, gembira, sedih, sama dengan kau suka akan gulai kepala ikan, suka mesin. Bedanya, kita selama ini terbiasa mengistimewakan gumpal perasaan yang disebut cinta.” – Hal. 429-430

Kata-kata bijak yang terucap dari mulut dari Pak Tua pun dapat dihayati dan dipraktekan bukan hanya oleh Borno, tapi juga kita sebagai pembaca. Karena tema novel ini romance maka kebanyakan petuah pun mengenai cinta. Ya, dengan banyaknya kata-kata bijak dapat dikatakan novel ini sebagai kisah cinta sederhana namun kaya makna. Walaupun ada beberapa kata-kata bijak  mengenai hal lain seperti :

Kau tahu, salah-satu sifat orang paling bersyukur di dunia ini adalah orang yang selalu mengajak makan tamunya, mentraktir makan teman2 dekatnya, kerabat, keluarga. Sebaliknya, orang yang paling tidak tahu untung adalah yang selalu saja mengeluhkan makanan di hadapannya.”

            Seperti novel sebelumnya Tere Liye berhasil mendeskripsikan suasana daerah atau tempat tinggal tokoh dengan kata-kata yang membuat pembacanya serasa hidup di sana. Kali ini pembaca diajak untuk tinggal di masyarakat tepian sungai Kapuas yang harmonis dan ramah. Pembaca diajak untuk dapat menikmati keindahan kota Pontianak. Selain itu, penulis dapat menampilkan sisi tertinggal dari sebuah pembangunan kota yang tak merata. Pembangunan kota yang menyingkirkan tantanan masyrakat tradisonal yang telah ada sejak puluhan tahun silam. Ironis, apalagi penulis mempelihatkannya dari sisi masyarakat tradisional tersebut.
            Novel ini bukan sekedar novel picisan yang menceritakan kisah cinta antara laki-laki dan perempuan, namun juga membantu pembaca memahami dan memaknai cinta tanpa menggurui. Berbeda dengan cerita roman kebanyakan, novel ini lebih membumi dan tidak cengeng. Novel ini  mengajarkan mengenai penantian, pengorbanan, kesetian, ketulusan daan kejujuran hati. Novel ini wajib dibaca oleh mereka yang sedang merenungi dan mencari makna dan arti cinta yang sebenarnya. Bahkan bagi para remaja juga dianjurkan membaca novel ini, karena dapat membantu kita mendefinisikan”cinta” tanpa perlu “menggalau” lebih lama.
            Novel ini pun wajib baca bagi mereka yang mencoba memahami kehidupan. Karena semua novel Tere Liye sebelumnya juga mengajak kita secara arif dan bijaksana merenungi kehidupan. Tere Liye berusaha memperkenalkan nilai-nilai kehidupan yang telah tertanamam dalam diri kita untuk dipraktekan dalam kehidupan. Energi kehidupan yang ia sampaikan bukan dengan cara menggurui membuat pesan –pesan tersebut lebih tersampaikan ke semua kalangan pembaca. Ya, semangat penulis untuk memandang kehidupan dengan sudut pandang yang lebih bersahaja, sederhana, dan bijaksana begitu kuat dalam novelnya, sehingga akan terasa ketika membacanya.


Selasa, 19 Juni 2012

Andai Ibu Bukan Ibuku


Aku anak pertama di keluargaku. Aku mempunyai seorang adik laki-laki. Jarak umur kami tak jauh berbeda. Jarak aku dengan Putra, adikku hanya dua tahun. Perbedaan umur yang dekat itu, membuat kami sering bertengkar. Tak ada rasa ingin mengalah dariku bahkan untuk urusan yang kecil sekali pun. Pukulan dan tendangan pun sering mendarat ditubuh untuk mempertahankan keras kepala masing-masing. Terkadang akan bertambah dengan luka lebam dari ibu. Ayunan dari ikat pingang akan mendarat ditubuh kami jika ibu tahu kami berkelahi.
Ya, ibu sangat keras dalam mendidik kami. Ayunan dari ikat pingang serta pukulan dari tangannya yang kasar menjadi pelurus saat kami bertindak tidak sesuai dengan keinginannya. Dulu aku sering mengadu pada ayah tentang pukulan yang ku terima dari ibu. Namun setelah tiga kali aku tak pernah mengadu lagi. Aduanku tak pernah membuahkan hasil. Ayah tak pernah memarahi ibu.  Ayah yang tak melarang ibu untuk memukuli kami. Lebih parah, ayah memarahi kami untuk tidak memancing amarah ibu sehingga tak perlu dipukul.
Jika anak-anak kecil punya kenangan akan dimanja dan dijadikan bak putri raja, jangan tanya kenangan itu padaku. Ibu tak pernah membelikan aku boneka ataupun mainan peralatan dapur untuk main masak-masakan. Baju lebaran pun hanya ayah yang membelikannya. Ya, ayahlah yang membeli mainan untukku dan Putra. Hanya ayah yang memanjakan kami.
Namun, karena seorang ayah yang memanjakan, mainannya pun mainan untuk anak laki-laki. Ayah membelikan aku pistol-pistolan, mulai dari pistol air, pistol yang mengelurkan berbagai macam bunyi, bahkan pistol angin. Ayah pun membelikan aku mobil-mobilan. Baju yang dibelikan pun lebih banyak berupa kaos dan celana. Hadiah mainan paling besar yang ku terima adalah sepeda yang ayah beli di pasar loak.
Aku merasa lebih dekat dengan ayah walau waktu berssamaya relatif singkat. Ayah lebih banyak menhabiskan waktunya di bengkel, berangkat subuh hari dan pulang lepas magrib. Sedangkan dengan ibu berbanding terbalik. Setiap hari dari pagi sampai petang ibu berada di rumah. Walaupun waktuku lebih banyak dihabiskan bersama ibu, tapi  aku tak merasa dekat denagnnya. Kenangan yang ku ingat tentang ibu lebih banyak berisi mengenai pukulan tangan dan ayunan ikat pingangnya kepadaku.
Hampir tiap hari ibu memarahiku. Entah itu karena masalah dagangan ibu yang tak laku. Entah karena masakannya yang tidak enak. Entah karena aku yang banyak bermain. Semua hal yang tak berjalan sesuai dengan keinginan ibu dan membuatnya marah akan dilampiaskannya kepadaku dan Putra. Aku tak mengerti mengapa ibu melakukan hal itu. Aku tak memahami apa yang membuat ibu bertindak kasar kepada kami. Ketidakmengertianku membuatku membenci ibu. Menganggap bahwa ia tak ubahnya seperti nenek sihir yang ada di cerita-cerita dongeng.
 Ketika beranjak remaja, aku mulai memberontak terhadap perlakuan ibu. Apalagi masa puberitas membuat keegosian dan kelabilan dalam diriku tak ingin mendapat perlakuan semena-mena dan kasar. Ya, saat aku duduk di bangku Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, aku merasa sangat malang mempunyai ibu yang tak bisa mengerti kebutuhanku. Tak mempunyai ibu untuk tempat berbagi seperti teman-temanku. Aku pun selalu enggan untuk pulang ke rumah.
“Kenapa kau selalu pulang sore?” ,tanya ibu saat aku baru saja sampai di rumah.
“Sekolah sore”, jawabku pelan karena rasa capek yang kurasakan.
“Ya, tapi sekolah soremu itu selesai jam 4. Kau malah pulang jam 6. Kemana saja?” omel ibu.
“Main, ngilangin stress”, bentakku mulai merasa jengkel.
“Anak kecil bisa stress. Kamu aja yang sok stress.”, ejek ibu terhadap jawabanku.
 “Harusnya kamu tiru si Lina, anak tetangga sebelah. Sekolahnya sama denganmu. Tapi ia selalu pulang lebih awal darimu. Anaknya berbakti lagi. Ia selalu menolong ibunya membuat kue dagangan. Hmhm, coba kamu, main mulu pikirannya.” omelan ibu bertambah panjang.
“ Hahhh….”, aku mendesah kesal mendengar omelan ibu yang selalu berulang-ulang membandingkanku dengan orang lain. 

 “Kamu seharusnya seperti Lina, mau menolong ibu. Bukan main aja pikirannya Ayo sini! Bantu ibu mencetak adonan kuenya,” perintah ibu ketus.
“Capek, baru pulang juga”, ungkapku ketus.
“Habisnya kamu main mulu sih. Sini bantu ibu, cepat!”, perintah ibu dengan nada membentak.
“Uh.. kenapa nggak minta tolong Putra aja. Dari tadi dia kan juga main. Tuch sekarang ia cuma nonton tv. Suruh dia. Putri capek”, bantahku yang tak ingin menolong ibu.
“Dia kan anak laki-laki masa mencetak adonan kue”, timbal ibu dengan ketus.
“Lho apa bedanya anak laki-laki ama perempuan kalau sama-sama bisa bantu. Kalau dibedaain gini kenapa nggak ibu lahirkan aja aku sebagai anak laki-laki. Nggak usah repot-repot aku membantuin ibu”, ungkapku yang juga mengomel.
“Lho, dimintain tolong malah membantah mulu. Anak durhaka kamu membantah ibu”, bentak ibuku marah.
“Biar dibilang anak durhaka daripada harus nyetak adonan kue. Capek”, bantahku tak kalah sengit.
“Kamu mau ibu pukul!!!”, ibuku berdiri dan segera mengambil ikat pingang yang tergantung.
“AYO PUKUL! NIH SEKALIAN TAMPAR MUKANYA”, tantangku pada ibu.
Ibu yang awalnya hendak memukul sepertinya urung dengan tantanganku. Ia Cuma berkata, “Andai anak ibu BUKAN KAMU. COBA IBU  PUNYA ANAK KAYAK SI LINA. Dia….”,
Andai IBU  BUKAN IBUKU”,  teriakku.
“Aku ingin ibu seperti bu Mur. NGGAK PERNAH NGOMEL APALAGI MUKUL ANAKNYA”, bentakku yang bosan dibanding-bandingkan.
 Saat itu ibu langsung terdiam dan memalingkan wajahnya. Ia kembali sibuk dengan adonan kuenya. Suasana rumah yang tadinya penuh dengan teriakan tiba-tiba sunyi yang terdengar hanyalah suara Tv yang dihidupkan Putra. Aku terdiam sejenak kemudian berlari, masuk ke dalam kamarku. Lalu membanting pintu. Tak lupa segera menguncinya. Takut ibu mencoba mendobrak masuk dan kemudian menghajarku. Namun, sepertinya tidak. Ibu tak mendekati kamarku sama sekali.
Sejak pertengkaran besar itu, hubungan ibu dan aku semakin menjauh. Ibu tak pernah biacara padaku apalagi mengomel padaku. Saat itu kurasakan bahagia yang teramat sangat karena telah dapat membuat ibu bungkam, dan tak mencampuri urusanku lagi. Aku merasa euforia karena aku dapat bertindak semauku.
Perang dingin ini pun berlarut terjadi bertahun-tahun tanpa terselesaikan sama sekali. Aku tak pernah berbicara dengan ibu, dan sepertinya ibu juga enggan untuk berbincang-bincang denganku. Bahkan ibu tak pernah lagi menyuruhku untuk melakukan ini ataupun itu. Ibu lebih memilih untuk tak meminta bantuan kepadaku. Aku pun begitu, lebih memilih untuk meminta kebutuhanku pada ayah. Ayah yang tak banyak bicara,  memenuhi semua keinginanku. Namun, untuk urusan perut aku tetap makan masakan ibu. Agar impas, aku pun mencuci bekas makanku sendiri, bajuku sendiri, terkadang mencuci bagian ayah.
Perang itu sedikit mereda beberapa tahun kemudian saat aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di luar kota. Ibu membantuku mempersiapkan segala hal, tanpa banyak berkat-kata ibu membelikan aku perlengkapan yang aku butuhkan untuk nge-kost nantinya. Aku pun diam saja dan tak mengucapkan terima kasih sama sekali. Aku hanya beranggapan bahwa itu memang sebuah kewajiaban dari seorang ibu. Sebagai balasannya, aku melakukan kewajibanku saat pergi dengan mencium tangannya. Hal yang sudah bertahun-tahun tak kulakukan.


Suasana kota kelahiranku ini, tak banyak berubah setelah aku tinggalkan hampir sepuluh tahun. Bangunannya tak banyak yang berubah, hanya ada beberapa bangunan tingkat tiga di pasar.  Aku masih dapat  merasakan akrabnya lingkungan. Beberapa orang masih mengenali aku yang sudah tak lama pulang, mereka menyapaku dengan ramah. Namun ada sedikit pergeseran budaya, anak mudanya lebih banyak memakai bahasa gaul seperti di sinetron-sinetron. Aku malah merasa lucu dengan cara mereka berbicara karena bahasa gaul itu bercampur dengan logat daerah yang sangat kental.  
            Aku sengaja datang setelah mendapat telepon dari ayah yang memintaku untuk segera pulang. Memang tak ada alasan jelas yang diungkapkan ayah, namun aku tahu pasti ada hal penting.  Tak mungkin ayah tak punya alasan. Apalagi, selama ayah ini tak pernah menuntut apapun, tiba-tiba menuntut dengan keras agar aku pulang . Sebenarnya ada terbesit rasa cemas namun semuanya ku tolak dan kututupi dengan menikmati suasana kota tempatku dibesarkan sebelum aku benar-benar pulang ke rumah.
            Aku pun merasa cangung untuk memasuki rumah. Rumah itu mengingatkanku atas perlakuan ibu dulu. Kenangan masa kecil yang telah ku kubur bangkit satu persatu. Begitu banyak bayang-bayang masa lalu yang silih berganti datang sehingga membuatku sibuk menyeka ujung-ujung mataku. Terutama pertengkaran hebat saat aku duduk dikelas 2 SLTP dulu. Ada rasa engan untuk memasuki rumah yang telah lama ku tinggalkan itu. Sepertinya tanpa sadar aku telah mematung di depan rumah. Aku tersentak ketika pintu rumah tiba-tiba terbuka.
            “Putri?”, ujar ayahku yang sepertinya terkejut melihat aku telah sampai di rumah.
            “Ayo kita segera berangkat! Ibu sudah menunggu di rumah sakit”, ujar ayah tergesa-gesa seperti tak butuh jawaban dariku.
            Aku yang baru saja tersentak dari lamunan, sekarang bingung, tak mengerti maksud ayah. Aku malah mematung lagi gerakan yang kubuat hanyalah mengerutkan dahi. Ayah sepertinya sadar dengan kebingunganku. Segera saja mengambil koperku lalu memasukanya ke dalam rumah. Kemudian ia menarikku dan mengajakku masuk ke dalam mobil kijang kotak berwarna biru.
            “Ayah, kenapa ibu di rumah sakit? Siapa yang sakit?”, tanyaku setelah mobil meluncur di jalanan.
            Ayah yang jarang berbicara banyak itu pun akhirnya bercerita tentang penyakit ibu. Sudah tiga tahun terakhir rupanya ibu menderita gagal ginjal. Penyebabnya akibat penyakit diabetes dan juga hipertensi yang telah dialami ibu puluhan tahun.  Hampir tiap minggu ibu harus bolak balik rumah sakit untuk menjalani cuci darah. Keadaannya bukan membaik namun malah memburuk. Maka tiga hari yang lalu diadakan pencangkokan ginjal. Namun, karena donor dari non keluarga tubuh ibu sepertinya menolak.
            “Bukannya keluarga besar ibu banyak di sini. Tante Risa, tante Rose, paman Mahmud. Kenapa mereka nggak menjadi pendonor?”, tanyaku.
            “Golongan darahnya beda, darah ibumu AB”, jawab ayahku singkat.
            Aku tertegun. Bukankah darahku sama dengan ibu. Kenapa Ibu dan ayah tak pernah membicarakannya? Kenapa aku tak diberitahu?Aku bisa mendonorkan ginjalku kan?
            “Ibu tak mau kau tahu keadaannya. Takut mengganggu aktivitasmu. Apalagi memintamu menjadi donor. Ibu tak mau kau mendonorkan ginjalnya. Ibu takut kau tak bisa lagi menjalankan tugasmu sebagai jurnalis, jika sistem tubuhmu tak bekerja maksimal”, jelas ayah panjang lebar.
            “Apakah ibu sebegitu sayangnya padaku”, bisikku lirih.
            “Tentu seorang ibu sayang pada anaknya”, ujar ayahku.
            Ayah yang pendiam mulai bercerita mengenai usaha ibu untuk menunjukan kasih sayangnya padaku. Ibu telah berubah sejak pertengkaran besarnya denganku. Ibulah selama ini yang berusaha untuk memenuhi biaya kuliah dan hidupku selama berada di luar kota. Gaji ayah di bengkel hanya cukup untuk kebutuhan di rumah. Maka dari itu, ibu siang malam berusaha untuk menjual kuenya, bahkan semua hasil jerih payah itu tak dinikmati ibu, langsung mengalir masuk ke rekeningku. Ayah pun mengungkapkan betapa ibu sangat bangga terhadap prestasiku, ia selalu membicarakannya kepada semua kenalannya. Tak heran semua orang tetap mengingatku, walaupun sudah lama aku tak pulang.
Kunang-kunang—
Ya Allah, aku jahat sekali. Jahat! Dua belas tahun yang lalu. Kejadian itu tidak akan pernah terlupakan. Tapi, aku sungguh tak tahu perasaan ibu. Aku tak mengetahui bahwa aku telah menusuk dan mengukir sempurna luka di hati ibu. Aku terisak. Perlahan air mata mulai menganak sungai. Ya, Allah, seharusnya aku menyangi ibuku. Seharusnya aku tak pura-pura lupa untuk selalu menghormatinnya.... Jika ada yang bertanya siapa orang yang paling berjasa dan penting dalam hidupku? Maka itu sungguh jawabanya adalah  Ibu..Ibu..Ibu..ku.
Derap langkah bergema di seluruh lorong rumah sakit. Dalam sekejap, aku sudah masuk ke dalam ruang inap. Setengah berlari dengan wajah berlinang air mata. Aku langsung menghambur ke ranjang di mana ibu berbaring. Sungguh  sesak aku  menahan kalimat itu. Kalimat yang tertahan selama bertahun-tahun. Sungguh aku takut kalimat itu menjadi penyesalan dalam hidup yang tak tersampaikan. Aku bersimpuh, gemetar menciumi tangan Ibu.  
"Maafkan Putri ibu.... Sungguh ampunkan, Putri, Ibu.... Maafkan Putri yang dulu berharap ibu bukan ibu Putri! "  Aku tersungkur. Tetap mengulangi permohonan maaf walaupun aku tahu tadi mata ibu masih tertutup. Tak ada jawaban ataupun gerakan dari tangan ibu yang telah mendingin.
            “Kak, ibu baru saja pergi. Ibu pasti telah memaafkan kakak. Karena tadi ibu juga minta maaf kepada kakak”, ujar Putra seraya memelukku.
            Ya, Allah aku terlambat. Ya Allah bisakah kau kembalikan ibuku sebentar saja. Agar aku bisa meminta maaf langsung padanya. Agar telinga ini bisa mendengar ia mengampunkan aku anaknya….

***
Bandung, Mei 2012 

Minggu, 17 Juni 2012

Lomba Resensi Buku


Lomba Resensi Aku kau dan sepucuk angpau Tere Liye(DL 30 Juni 2012)


‎*Share info lomba Resensi berhadiah IPAD, BB, dll*


Hai para pecinta novel Gramedia Pustaka Utama, sudah baca novel "Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah" karya Tere Liye? Kalau belum, ayo segera dicari di toko buku terdekat, karena di bulan Juni ini Gramedia Pustaka Utama dan Tere Liye mengadakan Lomba Resensi Novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah yang hadiah utamanya ciamik; sebuah iPad seri terbaru! :D 

Syarat & Ketentuan:




1. Panjang resensi 1.000 - 1.500 kata (5 - 8 hlm.)

2. Ukuran kertas A4, jenis huruf yang digunakan
Times New Roman 12 pt, 1½ spasi

3. Tulisan harus orisinal dan belum pernah
dipublikasikan di media massa mana pun 

4. Kirim resensimu melalui email ke
ade@gramediapublishers.com (wajib) & juga boleh di-posting di jejaring sosial media milikmu, seperti
Facebook, Twitter, Blog, dan sebagainya

5. Resensi diterima panitia paling lambat 30 Juni 2012

6. Pengumuman pemenang tanggal 6 Juli 2012 & akan
diumumkan di website http://gramediapustakautama.com/, Facebook: Gramedia Pustaka Utama dan Twitter @Gramedia.

7. Resensi yang dinyatakan sebagai pemenang akan
dipublikasikan di jejaring sosial media milik Gramedia
Pustaka Utama. 

Hadiah:

Pemenang Pertama : iPad 2 Wi-Fi 16 GB

Pemenang Kedua : BlackBerry 9220 Black

Pemenang Ketiga : HP Samsung Galaxy S5300

Pemenang Harapan I : Paket Buku Rp. 300.000,00

Pemenang Harapan II : Paket Buku Rp. 300.000,00 

Ayo... Jangan ditunda lagi. Langsung baca novelnya,
tulis resensinya, dan kirimkan! Semoga beruntung. :

Copy From : 




Pertama Kali untuk Kesekian Kali

Hallo, sahabat blogger...
Ini adalah salah satu posting pertama saya setelah beberapa kali membuat blog namun tak pernah aktif
sekarang niat serius untuk punya blog telah tertanam
mudah-mudahan tidak seperti beberapa waktu lalu, hilang timbul tak jelas.
seperti kata pepatah mianang, "Angek-angke cik ayam".
ku harap ini bertahan lama dna terus berlanjut hingga saya menjadi seorang penulis yang bisa memberikan kontribusi dan inspirasi kepada banyak orang.
Terima kasih...