Selasa, 19 Juni 2012

Andai Ibu Bukan Ibuku


Aku anak pertama di keluargaku. Aku mempunyai seorang adik laki-laki. Jarak umur kami tak jauh berbeda. Jarak aku dengan Putra, adikku hanya dua tahun. Perbedaan umur yang dekat itu, membuat kami sering bertengkar. Tak ada rasa ingin mengalah dariku bahkan untuk urusan yang kecil sekali pun. Pukulan dan tendangan pun sering mendarat ditubuh untuk mempertahankan keras kepala masing-masing. Terkadang akan bertambah dengan luka lebam dari ibu. Ayunan dari ikat pingang akan mendarat ditubuh kami jika ibu tahu kami berkelahi.
Ya, ibu sangat keras dalam mendidik kami. Ayunan dari ikat pingang serta pukulan dari tangannya yang kasar menjadi pelurus saat kami bertindak tidak sesuai dengan keinginannya. Dulu aku sering mengadu pada ayah tentang pukulan yang ku terima dari ibu. Namun setelah tiga kali aku tak pernah mengadu lagi. Aduanku tak pernah membuahkan hasil. Ayah tak pernah memarahi ibu.  Ayah yang tak melarang ibu untuk memukuli kami. Lebih parah, ayah memarahi kami untuk tidak memancing amarah ibu sehingga tak perlu dipukul.
Jika anak-anak kecil punya kenangan akan dimanja dan dijadikan bak putri raja, jangan tanya kenangan itu padaku. Ibu tak pernah membelikan aku boneka ataupun mainan peralatan dapur untuk main masak-masakan. Baju lebaran pun hanya ayah yang membelikannya. Ya, ayahlah yang membeli mainan untukku dan Putra. Hanya ayah yang memanjakan kami.
Namun, karena seorang ayah yang memanjakan, mainannya pun mainan untuk anak laki-laki. Ayah membelikan aku pistol-pistolan, mulai dari pistol air, pistol yang mengelurkan berbagai macam bunyi, bahkan pistol angin. Ayah pun membelikan aku mobil-mobilan. Baju yang dibelikan pun lebih banyak berupa kaos dan celana. Hadiah mainan paling besar yang ku terima adalah sepeda yang ayah beli di pasar loak.
Aku merasa lebih dekat dengan ayah walau waktu berssamaya relatif singkat. Ayah lebih banyak menhabiskan waktunya di bengkel, berangkat subuh hari dan pulang lepas magrib. Sedangkan dengan ibu berbanding terbalik. Setiap hari dari pagi sampai petang ibu berada di rumah. Walaupun waktuku lebih banyak dihabiskan bersama ibu, tapi  aku tak merasa dekat denagnnya. Kenangan yang ku ingat tentang ibu lebih banyak berisi mengenai pukulan tangan dan ayunan ikat pingangnya kepadaku.
Hampir tiap hari ibu memarahiku. Entah itu karena masalah dagangan ibu yang tak laku. Entah karena masakannya yang tidak enak. Entah karena aku yang banyak bermain. Semua hal yang tak berjalan sesuai dengan keinginan ibu dan membuatnya marah akan dilampiaskannya kepadaku dan Putra. Aku tak mengerti mengapa ibu melakukan hal itu. Aku tak memahami apa yang membuat ibu bertindak kasar kepada kami. Ketidakmengertianku membuatku membenci ibu. Menganggap bahwa ia tak ubahnya seperti nenek sihir yang ada di cerita-cerita dongeng.
 Ketika beranjak remaja, aku mulai memberontak terhadap perlakuan ibu. Apalagi masa puberitas membuat keegosian dan kelabilan dalam diriku tak ingin mendapat perlakuan semena-mena dan kasar. Ya, saat aku duduk di bangku Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, aku merasa sangat malang mempunyai ibu yang tak bisa mengerti kebutuhanku. Tak mempunyai ibu untuk tempat berbagi seperti teman-temanku. Aku pun selalu enggan untuk pulang ke rumah.
“Kenapa kau selalu pulang sore?” ,tanya ibu saat aku baru saja sampai di rumah.
“Sekolah sore”, jawabku pelan karena rasa capek yang kurasakan.
“Ya, tapi sekolah soremu itu selesai jam 4. Kau malah pulang jam 6. Kemana saja?” omel ibu.
“Main, ngilangin stress”, bentakku mulai merasa jengkel.
“Anak kecil bisa stress. Kamu aja yang sok stress.”, ejek ibu terhadap jawabanku.
 “Harusnya kamu tiru si Lina, anak tetangga sebelah. Sekolahnya sama denganmu. Tapi ia selalu pulang lebih awal darimu. Anaknya berbakti lagi. Ia selalu menolong ibunya membuat kue dagangan. Hmhm, coba kamu, main mulu pikirannya.” omelan ibu bertambah panjang.
“ Hahhh….”, aku mendesah kesal mendengar omelan ibu yang selalu berulang-ulang membandingkanku dengan orang lain. 

 “Kamu seharusnya seperti Lina, mau menolong ibu. Bukan main aja pikirannya Ayo sini! Bantu ibu mencetak adonan kuenya,” perintah ibu ketus.
“Capek, baru pulang juga”, ungkapku ketus.
“Habisnya kamu main mulu sih. Sini bantu ibu, cepat!”, perintah ibu dengan nada membentak.
“Uh.. kenapa nggak minta tolong Putra aja. Dari tadi dia kan juga main. Tuch sekarang ia cuma nonton tv. Suruh dia. Putri capek”, bantahku yang tak ingin menolong ibu.
“Dia kan anak laki-laki masa mencetak adonan kue”, timbal ibu dengan ketus.
“Lho apa bedanya anak laki-laki ama perempuan kalau sama-sama bisa bantu. Kalau dibedaain gini kenapa nggak ibu lahirkan aja aku sebagai anak laki-laki. Nggak usah repot-repot aku membantuin ibu”, ungkapku yang juga mengomel.
“Lho, dimintain tolong malah membantah mulu. Anak durhaka kamu membantah ibu”, bentak ibuku marah.
“Biar dibilang anak durhaka daripada harus nyetak adonan kue. Capek”, bantahku tak kalah sengit.
“Kamu mau ibu pukul!!!”, ibuku berdiri dan segera mengambil ikat pingang yang tergantung.
“AYO PUKUL! NIH SEKALIAN TAMPAR MUKANYA”, tantangku pada ibu.
Ibu yang awalnya hendak memukul sepertinya urung dengan tantanganku. Ia Cuma berkata, “Andai anak ibu BUKAN KAMU. COBA IBU  PUNYA ANAK KAYAK SI LINA. Dia….”,
Andai IBU  BUKAN IBUKU”,  teriakku.
“Aku ingin ibu seperti bu Mur. NGGAK PERNAH NGOMEL APALAGI MUKUL ANAKNYA”, bentakku yang bosan dibanding-bandingkan.
 Saat itu ibu langsung terdiam dan memalingkan wajahnya. Ia kembali sibuk dengan adonan kuenya. Suasana rumah yang tadinya penuh dengan teriakan tiba-tiba sunyi yang terdengar hanyalah suara Tv yang dihidupkan Putra. Aku terdiam sejenak kemudian berlari, masuk ke dalam kamarku. Lalu membanting pintu. Tak lupa segera menguncinya. Takut ibu mencoba mendobrak masuk dan kemudian menghajarku. Namun, sepertinya tidak. Ibu tak mendekati kamarku sama sekali.
Sejak pertengkaran besar itu, hubungan ibu dan aku semakin menjauh. Ibu tak pernah biacara padaku apalagi mengomel padaku. Saat itu kurasakan bahagia yang teramat sangat karena telah dapat membuat ibu bungkam, dan tak mencampuri urusanku lagi. Aku merasa euforia karena aku dapat bertindak semauku.
Perang dingin ini pun berlarut terjadi bertahun-tahun tanpa terselesaikan sama sekali. Aku tak pernah berbicara dengan ibu, dan sepertinya ibu juga enggan untuk berbincang-bincang denganku. Bahkan ibu tak pernah lagi menyuruhku untuk melakukan ini ataupun itu. Ibu lebih memilih untuk tak meminta bantuan kepadaku. Aku pun begitu, lebih memilih untuk meminta kebutuhanku pada ayah. Ayah yang tak banyak bicara,  memenuhi semua keinginanku. Namun, untuk urusan perut aku tetap makan masakan ibu. Agar impas, aku pun mencuci bekas makanku sendiri, bajuku sendiri, terkadang mencuci bagian ayah.
Perang itu sedikit mereda beberapa tahun kemudian saat aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di luar kota. Ibu membantuku mempersiapkan segala hal, tanpa banyak berkat-kata ibu membelikan aku perlengkapan yang aku butuhkan untuk nge-kost nantinya. Aku pun diam saja dan tak mengucapkan terima kasih sama sekali. Aku hanya beranggapan bahwa itu memang sebuah kewajiaban dari seorang ibu. Sebagai balasannya, aku melakukan kewajibanku saat pergi dengan mencium tangannya. Hal yang sudah bertahun-tahun tak kulakukan.


Suasana kota kelahiranku ini, tak banyak berubah setelah aku tinggalkan hampir sepuluh tahun. Bangunannya tak banyak yang berubah, hanya ada beberapa bangunan tingkat tiga di pasar.  Aku masih dapat  merasakan akrabnya lingkungan. Beberapa orang masih mengenali aku yang sudah tak lama pulang, mereka menyapaku dengan ramah. Namun ada sedikit pergeseran budaya, anak mudanya lebih banyak memakai bahasa gaul seperti di sinetron-sinetron. Aku malah merasa lucu dengan cara mereka berbicara karena bahasa gaul itu bercampur dengan logat daerah yang sangat kental.  
            Aku sengaja datang setelah mendapat telepon dari ayah yang memintaku untuk segera pulang. Memang tak ada alasan jelas yang diungkapkan ayah, namun aku tahu pasti ada hal penting.  Tak mungkin ayah tak punya alasan. Apalagi, selama ayah ini tak pernah menuntut apapun, tiba-tiba menuntut dengan keras agar aku pulang . Sebenarnya ada terbesit rasa cemas namun semuanya ku tolak dan kututupi dengan menikmati suasana kota tempatku dibesarkan sebelum aku benar-benar pulang ke rumah.
            Aku pun merasa cangung untuk memasuki rumah. Rumah itu mengingatkanku atas perlakuan ibu dulu. Kenangan masa kecil yang telah ku kubur bangkit satu persatu. Begitu banyak bayang-bayang masa lalu yang silih berganti datang sehingga membuatku sibuk menyeka ujung-ujung mataku. Terutama pertengkaran hebat saat aku duduk dikelas 2 SLTP dulu. Ada rasa engan untuk memasuki rumah yang telah lama ku tinggalkan itu. Sepertinya tanpa sadar aku telah mematung di depan rumah. Aku tersentak ketika pintu rumah tiba-tiba terbuka.
            “Putri?”, ujar ayahku yang sepertinya terkejut melihat aku telah sampai di rumah.
            “Ayo kita segera berangkat! Ibu sudah menunggu di rumah sakit”, ujar ayah tergesa-gesa seperti tak butuh jawaban dariku.
            Aku yang baru saja tersentak dari lamunan, sekarang bingung, tak mengerti maksud ayah. Aku malah mematung lagi gerakan yang kubuat hanyalah mengerutkan dahi. Ayah sepertinya sadar dengan kebingunganku. Segera saja mengambil koperku lalu memasukanya ke dalam rumah. Kemudian ia menarikku dan mengajakku masuk ke dalam mobil kijang kotak berwarna biru.
            “Ayah, kenapa ibu di rumah sakit? Siapa yang sakit?”, tanyaku setelah mobil meluncur di jalanan.
            Ayah yang jarang berbicara banyak itu pun akhirnya bercerita tentang penyakit ibu. Sudah tiga tahun terakhir rupanya ibu menderita gagal ginjal. Penyebabnya akibat penyakit diabetes dan juga hipertensi yang telah dialami ibu puluhan tahun.  Hampir tiap minggu ibu harus bolak balik rumah sakit untuk menjalani cuci darah. Keadaannya bukan membaik namun malah memburuk. Maka tiga hari yang lalu diadakan pencangkokan ginjal. Namun, karena donor dari non keluarga tubuh ibu sepertinya menolak.
            “Bukannya keluarga besar ibu banyak di sini. Tante Risa, tante Rose, paman Mahmud. Kenapa mereka nggak menjadi pendonor?”, tanyaku.
            “Golongan darahnya beda, darah ibumu AB”, jawab ayahku singkat.
            Aku tertegun. Bukankah darahku sama dengan ibu. Kenapa Ibu dan ayah tak pernah membicarakannya? Kenapa aku tak diberitahu?Aku bisa mendonorkan ginjalku kan?
            “Ibu tak mau kau tahu keadaannya. Takut mengganggu aktivitasmu. Apalagi memintamu menjadi donor. Ibu tak mau kau mendonorkan ginjalnya. Ibu takut kau tak bisa lagi menjalankan tugasmu sebagai jurnalis, jika sistem tubuhmu tak bekerja maksimal”, jelas ayah panjang lebar.
            “Apakah ibu sebegitu sayangnya padaku”, bisikku lirih.
            “Tentu seorang ibu sayang pada anaknya”, ujar ayahku.
            Ayah yang pendiam mulai bercerita mengenai usaha ibu untuk menunjukan kasih sayangnya padaku. Ibu telah berubah sejak pertengkaran besarnya denganku. Ibulah selama ini yang berusaha untuk memenuhi biaya kuliah dan hidupku selama berada di luar kota. Gaji ayah di bengkel hanya cukup untuk kebutuhan di rumah. Maka dari itu, ibu siang malam berusaha untuk menjual kuenya, bahkan semua hasil jerih payah itu tak dinikmati ibu, langsung mengalir masuk ke rekeningku. Ayah pun mengungkapkan betapa ibu sangat bangga terhadap prestasiku, ia selalu membicarakannya kepada semua kenalannya. Tak heran semua orang tetap mengingatku, walaupun sudah lama aku tak pulang.
Kunang-kunang—
Ya Allah, aku jahat sekali. Jahat! Dua belas tahun yang lalu. Kejadian itu tidak akan pernah terlupakan. Tapi, aku sungguh tak tahu perasaan ibu. Aku tak mengetahui bahwa aku telah menusuk dan mengukir sempurna luka di hati ibu. Aku terisak. Perlahan air mata mulai menganak sungai. Ya, Allah, seharusnya aku menyangi ibuku. Seharusnya aku tak pura-pura lupa untuk selalu menghormatinnya.... Jika ada yang bertanya siapa orang yang paling berjasa dan penting dalam hidupku? Maka itu sungguh jawabanya adalah  Ibu..Ibu..Ibu..ku.
Derap langkah bergema di seluruh lorong rumah sakit. Dalam sekejap, aku sudah masuk ke dalam ruang inap. Setengah berlari dengan wajah berlinang air mata. Aku langsung menghambur ke ranjang di mana ibu berbaring. Sungguh  sesak aku  menahan kalimat itu. Kalimat yang tertahan selama bertahun-tahun. Sungguh aku takut kalimat itu menjadi penyesalan dalam hidup yang tak tersampaikan. Aku bersimpuh, gemetar menciumi tangan Ibu.  
"Maafkan Putri ibu.... Sungguh ampunkan, Putri, Ibu.... Maafkan Putri yang dulu berharap ibu bukan ibu Putri! "  Aku tersungkur. Tetap mengulangi permohonan maaf walaupun aku tahu tadi mata ibu masih tertutup. Tak ada jawaban ataupun gerakan dari tangan ibu yang telah mendingin.
            “Kak, ibu baru saja pergi. Ibu pasti telah memaafkan kakak. Karena tadi ibu juga minta maaf kepada kakak”, ujar Putra seraya memelukku.
            Ya, Allah aku terlambat. Ya Allah bisakah kau kembalikan ibuku sebentar saja. Agar aku bisa meminta maaf langsung padanya. Agar telinga ini bisa mendengar ia mengampunkan aku anaknya….

***
Bandung, Mei 2012 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar