Senin, 25 Juni 2012

Resensi Novel Kau, Aku, Dan Angpau Merah



Kisah Cinta Sederhana dengan Kaya Makna

Judul               :  Kau,Aku, Dan Angpau Merah
Pengarang       : Tere Liye
Peresensi         : Beauty Alawiyah
Tebal               : 512 halaman
Ukuran             : 13.5 x 20 cm
ISBN               :  978-979-22-7913-9
Penerbit           : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan           : Pertama, Januari 2012
Harga              : Rp. 72.000

Satu lagi karya Tere Liye hadir untuk pembaca sastra Indonesia berjudul  Kau, Aku, Dan Angpau Merah . Kali ini penulis menghadirkan novel dengan genre romantis mengenai cinta antara sepasang insan anak adam dan hawa. Nuansa romantis, syahdu, indah, dan menawan yang mewakili isi novel dapat langsung dirasakan saat melihat cover sampul buku yang berwarna merah jingga. Perpaduan warna yang senja dan sosok gadis berpayung menjadi cover depan tersebut sangat melambangakan kesederhanaan dan kesehajaan.
Kesan sederhana lain dapat ditangkap di cover belakang melalui kalimat Ah, kita tidak memerlukan sinopsis untuk memulai membaca cerita ini. Juga tidak memerlukan komentar dari orang-orang terkenal. Cukup dari teman, kerabat, tetangga sebelah rumah”. Kalimat tersebut menjadi daya tersendiri untuk segera membaca dan memiliki novel ini. Apalagi untuk pengemar Tere Liye yang akrab dengan kesehajaannya. Terbukti novel ini tidak mencantumkan komentar-komentar dari pembesar atau pun orang-orang terkenal. Komentar tentang novel ini berasal dari berbagai kalangan yang tak dikenal publik baik itu dari seorang calon dokter, seorang guru TK, seorang guru, bahkan seorang buruh perempuan,
Sedikit berbeda dengan novel-novel sebelumnya yang dapat membuat pembaca berlinangan air mata, novel ini lebih banyak mengajak pemacanya untuk tergelitik senyum bahkan tertawa. Terutama akibat ulah tokoh utama Borno yang memiliki sudut pandang yang unik dalam memandang kehidupan. Pembaca pun dapat tersenyum simpul atau bahkan tertawa terbahak-bahak ketika membaca kekonyolan dan kelakuan norak Borno, merasa gemas akan  kelakuan tokoh Bang Togar yang sering berlebihan, ataupun merasa sangat terharu ketika mengetahui kenyataan dibalik kisah cinta Borno dan Mei. Secara garis besar novel ini mengkisahkan kisah cinta seorang tokoh bernama Borno dengan perempuan bernama Mei.
Borno merupakan seorang pemuda yang sehari-harinya mengantungkan hidup pada sebuah sepit (perahu kecil terbuat dari kayu bermesin tempel yang berada di sepanjang sungai Kapuas) yang merupakan warisan dari ayahnya. Pria yang lulusan SMA itu menjadi tulang punggung keluarganya. Awalnya ia sempat bekerja sebagai buruh di pabrik ban dan juga penjaga karcis di sebuah kapal. Namun, takdir membawanya untuk menjalankan pekerjaan turun menurun di keluarganya, menjalankan sepit.
Di sepit itu ia bertemu dengan pujaan hatinya gadis berbaju kurung kuning dan berpayung merah. Hari itu sang gadis yang merupakan keturunan Tiang Hoa menaiki sepitnya dan tanpa sadar meninggalkan sebuah Angpau merah di atas sepitnya Borno. Angpau yang membuat pertemuan mereka tak hanya berakhir di sebagai pemberi jasa dan pengguna jasa. Angpau yang akan merubah kehidupan mereka. Angpau yang merupakan benang merah dari judul novel Aku, Kau dan Angpau Merah. Bruno sebagai pria yang digambarkan lurus, jujur dan berbudi pekerti yang baik berusaha untuk mengembalikan angpau tersebut kepada pemiliknya. Namun, ketika saat nya sudah mengembalikan angpau Bruno malah mengurungkan niatnya. Terlebih saat sang gadis mengetahui namanya, betapa malunya dia.
Borno bukanlah pria yang mudah putus asa, ia mencoba mencari kesempatan agar dapat berbincang kembali dengan gadis itu. Borno berusaha untuk menyabotase antrian sepit agar si gadis  tersebut menaiki perahunya. Mulailah setiap pagi Borno mengantri di urutan tiga belas untuk mencocokan waktu dengan gadis yang ia suka. Tak seperti kepercayaan banyak orang, angka tiga belas malah menjadi keberuntungan tersendiri bagi Borno. Walaupun ia berhasil dengan naiknya sang gadis ke atas sepitnya, namun untuk memulai percakapan dengan gadis yang ia sukai itu tidaklah mudah.
Namun, takdir mempertemukan mereka dalam sebuah  kebetulan yang tidak direncanakan yang membuat Borno dan sang gadis bisa bertemu dan berduaan. Bruno mengajari gadis yang bernama Mei itu untuk menjalankan sepit. Mereka pun merasakan manis dan getirnya perjalanan kisah cinta. Rajutan kisah cinta mereka pun tak mulus, ada pertemuan dan perpisahan, ada suka dan duka.
Seiring berjalannya waktu, akhirnya diketahui bahwa pertemuan Borno dengan Mei untuk pertama kalinya bukan di perahu sampit. Bukan saat angpau itu terjatuh. Jalinan takdir pertemuan mereka sudah terjadi saat mereka kecil. Ketika Bruno kecil yang berumur dua belas tahun harus kehilangan ayahnya. Ya, masa lalu mengikat mereka, keluarga mereka punya keterikatan yang tidak sangka-sangka. Keterikatan yang membuat orang tua Mei melarang hubungan mereka. Masa lalu itu menjadi klimaks konflik cinta mereka. “Tak seharusnya Mei bertemu dengan Abang Borno!” itulah yang diungkapkan Mei saat mengetahui jalinan masa lalu mereka. Dan itulah yang menjadi pertanyaan besar dalam kehidupan Borno.
Kisah cinta ini termasuk sederhana, antara seorang pemuda pengemudi sepit dengan seroang pemudi yang berprofesi sebagai guru. Alur cerita pun sederhana dimana setiap pemuda yang jatuh cinta berusaha untuk mendekati pujaan hatinya dengan berbagai cara. Seperti kebanyakan novel lainnya adanya penghambat untuk menyatukan cinta mereka. Kisah cinta yang sederhana tanpa perlu ada pihak ketiga yang menggoyahkan hati. Latar belakang kedua keluarga Borno pun sederhana, bukan dari keluarga mapan yang berada yang bergelimang harta seperti kebanyakan cerita cinta fantasi. Cerita cinta yang disugukan begitu nyata dan membumi.
Akan, tetapi perjalanan cinta mereka ditulis panjang sebanyak 500 halaman, namun dengan gaya tulisan Tere Liye tarik ulur hubungan cinta ini tak membosankan sama sekali. Namun, dengan piawai penulis dapat menceritakan hal remeh, kecil bahkan cendrung aneh untuk mewarnai cerita. Bahkan pada akhirnya, bagian-bagian yang dianggap remeh justru saling berkaitan menjalin sebuah rahasia.  Tokoh-tokoh pendukung cerita inipun tak kalah menariknya, punya karakter dan peran masing-masing dalam kehidupan Borno. Seperti Bang Togar, ketua perkumpulan pengemudi sepit yang menyebalkan tapi sangat setia kawan, Andi sahabat karib Borno, Pak tua yang sering memberi nasehat dan kata-kata bijak, Cik Taulani pemilik warung makanan yang sering menyuruh Borno. Selain itu berdatangan tokoh-tokoh baru yang makin meramaikan cerita.
Selain itu, pembaca dapat merenungkan kalimat-kalimat bijak yang bertebaran di sepanjang novel. Baik itu mengenai kehidupan, pekerajaan, dan juga percintaan.. Pak tua sebagai tokoh “yang dituakan” itu menjadi tempat bertanya dan dengan bijaksana dapat menjawab permasalahan hidup Borno. Ia menjadi tokoh yang memberikan solusi ketika Bruno mempunyai pertanyaan unik, menarik, dan ganjil yang tak bisa dijawab oleh orang lain. Ia pun dapat membantu Borno menemukan jawaban pertanyaan terbesar dalam hidupnya, permasalahan cinta sejati.

“Untuk orang-orang seperti kau, yang jujur atas kehidupan, bekerja keras, dan sederhana, definisi cinta sejati akan mengambil bentuk yang amat berbeda, amat menakjubkan.” – Hal. 175
“Borno, cinta hanyalah segumpal perasaan dalam hati. Sama halnya dengan gumpal perasaan senang, gembira, sedih, sama dengan kau suka akan gulai kepala ikan, suka mesin. Bedanya, kita selama ini terbiasa mengistimewakan gumpal perasaan yang disebut cinta.” – Hal. 429-430

Kata-kata bijak yang terucap dari mulut dari Pak Tua pun dapat dihayati dan dipraktekan bukan hanya oleh Borno, tapi juga kita sebagai pembaca. Karena tema novel ini romance maka kebanyakan petuah pun mengenai cinta. Ya, dengan banyaknya kata-kata bijak dapat dikatakan novel ini sebagai kisah cinta sederhana namun kaya makna. Walaupun ada beberapa kata-kata bijak  mengenai hal lain seperti :

Kau tahu, salah-satu sifat orang paling bersyukur di dunia ini adalah orang yang selalu mengajak makan tamunya, mentraktir makan teman2 dekatnya, kerabat, keluarga. Sebaliknya, orang yang paling tidak tahu untung adalah yang selalu saja mengeluhkan makanan di hadapannya.”

            Seperti novel sebelumnya Tere Liye berhasil mendeskripsikan suasana daerah atau tempat tinggal tokoh dengan kata-kata yang membuat pembacanya serasa hidup di sana. Kali ini pembaca diajak untuk tinggal di masyarakat tepian sungai Kapuas yang harmonis dan ramah. Pembaca diajak untuk dapat menikmati keindahan kota Pontianak. Selain itu, penulis dapat menampilkan sisi tertinggal dari sebuah pembangunan kota yang tak merata. Pembangunan kota yang menyingkirkan tantanan masyrakat tradisonal yang telah ada sejak puluhan tahun silam. Ironis, apalagi penulis mempelihatkannya dari sisi masyarakat tradisional tersebut.
            Novel ini bukan sekedar novel picisan yang menceritakan kisah cinta antara laki-laki dan perempuan, namun juga membantu pembaca memahami dan memaknai cinta tanpa menggurui. Berbeda dengan cerita roman kebanyakan, novel ini lebih membumi dan tidak cengeng. Novel ini  mengajarkan mengenai penantian, pengorbanan, kesetian, ketulusan daan kejujuran hati. Novel ini wajib dibaca oleh mereka yang sedang merenungi dan mencari makna dan arti cinta yang sebenarnya. Bahkan bagi para remaja juga dianjurkan membaca novel ini, karena dapat membantu kita mendefinisikan”cinta” tanpa perlu “menggalau” lebih lama.
            Novel ini pun wajib baca bagi mereka yang mencoba memahami kehidupan. Karena semua novel Tere Liye sebelumnya juga mengajak kita secara arif dan bijaksana merenungi kehidupan. Tere Liye berusaha memperkenalkan nilai-nilai kehidupan yang telah tertanamam dalam diri kita untuk dipraktekan dalam kehidupan. Energi kehidupan yang ia sampaikan bukan dengan cara menggurui membuat pesan –pesan tersebut lebih tersampaikan ke semua kalangan pembaca. Ya, semangat penulis untuk memandang kehidupan dengan sudut pandang yang lebih bersahaja, sederhana, dan bijaksana begitu kuat dalam novelnya, sehingga akan terasa ketika membacanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar