Kisah
Cinta Sederhana dengan Kaya Makna
Judul :
Kau,Aku, Dan Angpau Merah
Pengarang : Tere Liye
Peresensi : Beauty Alawiyah
Tebal : 512 halaman
Ukuran : 13.5 x 20 cm
ISBN : 978-979-22-7913-9
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, Januari 2012
Harga : Rp. 72.000
Satu lagi karya Tere Liye hadir untuk
pembaca sastra Indonesia berjudul Kau,
Aku, Dan Angpau Merah . Kali ini penulis menghadirkan novel dengan genre
romantis mengenai cinta antara sepasang insan anak adam dan hawa. Nuansa
romantis, syahdu, indah, dan menawan yang mewakili isi novel dapat langsung dirasakan
saat melihat cover sampul buku yang berwarna merah jingga. Perpaduan warna yang
senja dan sosok gadis berpayung menjadi cover depan tersebut sangat
melambangakan kesederhanaan dan kesehajaan.
Kesan sederhana lain
dapat ditangkap di cover belakang melalui kalimat “Ah, kita tidak memerlukan
sinopsis untuk memulai membaca cerita ini. Juga tidak memerlukan komentar dari
orang-orang terkenal. Cukup dari teman, kerabat, tetangga sebelah rumah”. Kalimat
tersebut menjadi daya tersendiri untuk segera membaca dan memiliki novel ini.
Apalagi untuk pengemar Tere Liye yang akrab dengan kesehajaannya. Terbukti novel ini tidak mencantumkan
komentar-komentar dari pembesar atau pun orang-orang terkenal. Komentar tentang
novel ini berasal dari berbagai kalangan yang tak dikenal publik baik itu dari
seorang calon dokter, seorang guru TK, seorang guru, bahkan seorang buruh perempuan,
Sedikit berbeda dengan
novel-novel sebelumnya yang dapat membuat pembaca berlinangan air mata, novel
ini lebih banyak mengajak pemacanya untuk tergelitik senyum bahkan tertawa. Terutama
akibat ulah tokoh utama Borno yang memiliki sudut pandang yang unik dalam
memandang kehidupan. Pembaca pun dapat tersenyum
simpul atau bahkan tertawa terbahak-bahak ketika membaca kekonyolan dan
kelakuan norak Borno, merasa gemas akan
kelakuan tokoh Bang Togar yang sering berlebihan, ataupun merasa sangat
terharu ketika mengetahui
kenyataan dibalik kisah cinta Borno dan Mei. Secara garis
besar novel ini mengkisahkan kisah cinta seorang tokoh bernama Borno dengan
perempuan bernama Mei.
Borno merupakan seorang
pemuda yang sehari-harinya mengantungkan hidup pada sebuah sepit (perahu kecil
terbuat dari kayu bermesin tempel yang berada di sepanjang sungai Kapuas) yang
merupakan warisan dari ayahnya. Pria yang lulusan SMA itu menjadi tulang
punggung keluarganya. Awalnya ia sempat bekerja sebagai buruh di pabrik ban dan
juga penjaga karcis di sebuah kapal. Namun, takdir membawanya untuk menjalankan
pekerjaan turun menurun di keluarganya, menjalankan sepit.
Di sepit itu ia bertemu
dengan pujaan hatinya gadis berbaju kurung kuning dan berpayung merah. Hari itu
sang gadis yang merupakan keturunan Tiang Hoa menaiki sepitnya dan tanpa sadar
meninggalkan sebuah Angpau merah di atas sepitnya Borno. Angpau yang membuat
pertemuan mereka tak hanya berakhir di sebagai pemberi jasa dan pengguna jasa. Angpau
yang akan merubah kehidupan mereka. Angpau yang merupakan benang merah dari
judul novel Aku, Kau dan Angpau Merah. Bruno sebagai pria yang digambarkan
lurus, jujur dan berbudi pekerti yang baik berusaha untuk mengembalikan angpau
tersebut kepada pemiliknya. Namun, ketika saat nya sudah mengembalikan angpau
Bruno malah mengurungkan niatnya. Terlebih saat sang gadis mengetahui namanya,
betapa malunya dia.
Borno bukanlah pria
yang mudah putus asa, ia mencoba mencari kesempatan agar dapat berbincang
kembali dengan gadis itu. Borno berusaha untuk menyabotase antrian sepit agar
si gadis tersebut menaiki perahunya.
Mulailah setiap pagi Borno mengantri di urutan tiga belas untuk mencocokan waktu
dengan gadis yang ia suka. Tak seperti kepercayaan banyak orang, angka tiga
belas malah menjadi keberuntungan tersendiri bagi Borno. Walaupun ia berhasil
dengan naiknya sang gadis ke atas sepitnya, namun untuk memulai percakapan dengan
gadis yang ia sukai itu tidaklah mudah.
Namun, takdir mempertemukan
mereka dalam sebuah kebetulan yang tidak
direncanakan yang membuat Borno dan sang gadis bisa bertemu dan berduaan. Bruno
mengajari gadis yang bernama Mei itu untuk menjalankan sepit. Mereka pun
merasakan manis dan getirnya perjalanan kisah cinta. Rajutan kisah cinta mereka
pun tak mulus, ada pertemuan dan perpisahan, ada suka dan duka.
Seiring berjalannya
waktu, akhirnya diketahui bahwa pertemuan Borno dengan Mei untuk pertama
kalinya bukan di perahu sampit. Bukan saat angpau itu terjatuh. Jalinan takdir
pertemuan mereka sudah terjadi saat mereka kecil. Ketika Bruno kecil yang
berumur dua belas tahun harus kehilangan ayahnya. Ya, masa lalu mengikat
mereka, keluarga mereka punya keterikatan yang tidak sangka-sangka. Keterikatan
yang membuat orang tua Mei melarang hubungan mereka. Masa lalu itu menjadi
klimaks konflik cinta mereka. “Tak seharusnya Mei bertemu dengan Abang Borno!” itulah
yang diungkapkan Mei saat mengetahui jalinan masa lalu mereka. Dan itulah yang
menjadi pertanyaan besar dalam kehidupan Borno.
Kisah
cinta ini termasuk sederhana, antara seorang pemuda pengemudi sepit dengan
seroang pemudi yang berprofesi sebagai guru. Alur cerita pun sederhana dimana
setiap pemuda yang jatuh cinta berusaha untuk mendekati pujaan hatinya dengan
berbagai cara. Seperti kebanyakan novel lainnya adanya penghambat untuk
menyatukan cinta mereka. Kisah cinta yang sederhana tanpa perlu ada pihak
ketiga yang menggoyahkan hati. Latar belakang kedua keluarga Borno pun
sederhana, bukan dari keluarga mapan yang berada yang bergelimang harta seperti
kebanyakan cerita cinta fantasi. Cerita cinta yang disugukan begitu nyata dan
membumi.
Akan, tetapi perjalanan cinta mereka ditulis panjang sebanyak 500
halaman, namun dengan
gaya tulisan Tere Liye tarik ulur hubungan cinta ini tak membosankan sama
sekali. Namun, dengan piawai penulis dapat menceritakan
hal remeh, kecil bahkan cendrung aneh untuk mewarnai cerita. Bahkan pada
akhirnya, bagian-bagian yang dianggap remeh justru saling berkaitan menjalin
sebuah rahasia. Tokoh-tokoh pendukung
cerita inipun tak kalah menariknya, punya karakter dan peran masing-masing
dalam kehidupan Borno. Seperti Bang Togar, ketua perkumpulan pengemudi sepit yang
menyebalkan tapi sangat setia kawan, Andi sahabat karib Borno, Pak tua yang
sering memberi nasehat dan kata-kata bijak, Cik Taulani pemilik warung makanan
yang sering menyuruh Borno. Selain itu berdatangan tokoh-tokoh baru yang makin
meramaikan cerita.
Selain
itu, pembaca dapat merenungkan kalimat-kalimat bijak yang bertebaran di
sepanjang novel. Baik itu mengenai kehidupan, pekerajaan, dan juga percintaan..
Pak tua sebagai tokoh “yang dituakan” itu menjadi tempat bertanya dan dengan
bijaksana dapat menjawab permasalahan hidup Borno. Ia menjadi tokoh yang
memberikan solusi ketika Bruno mempunyai pertanyaan unik, menarik, dan ganjil
yang tak bisa dijawab oleh orang lain. Ia pun dapat membantu Borno menemukan
jawaban pertanyaan terbesar dalam hidupnya, permasalahan cinta sejati.
“Untuk orang-orang seperti kau, yang jujur atas kehidupan, bekerja
keras, dan sederhana, definisi cinta sejati akan mengambil bentuk yang amat
berbeda, amat menakjubkan.” – Hal. 175
“Borno, cinta hanyalah segumpal perasaan dalam hati. Sama halnya
dengan gumpal perasaan senang, gembira, sedih, sama dengan kau suka akan gulai
kepala ikan, suka mesin. Bedanya, kita selama ini terbiasa mengistimewakan
gumpal perasaan yang disebut cinta.” – Hal. 429-430
Kata-kata bijak yang terucap dari mulut
dari Pak Tua pun dapat dihayati dan dipraktekan bukan hanya oleh Borno, tapi
juga kita sebagai pembaca. Karena tema novel ini romance maka kebanyakan petuah
pun mengenai cinta. Ya, dengan banyaknya kata-kata bijak dapat dikatakan novel
ini sebagai kisah cinta sederhana namun kaya makna. Walaupun ada beberapa
kata-kata bijak mengenai hal lain
seperti :
“Kau tahu, salah-satu
sifat orang paling bersyukur di dunia ini adalah orang yang selalu mengajak
makan tamunya, mentraktir makan teman2 dekatnya, kerabat, keluarga. Sebaliknya,
orang yang paling tidak tahu untung adalah yang selalu saja mengeluhkan makanan
di hadapannya.”
Seperti novel sebelumnya Tere Liye berhasil
mendeskripsikan suasana daerah atau tempat tinggal tokoh dengan kata-kata yang
membuat pembacanya serasa hidup di sana. Kali ini pembaca diajak untuk tinggal
di masyarakat tepian sungai Kapuas yang harmonis dan ramah. Pembaca diajak
untuk dapat menikmati keindahan kota Pontianak. Selain itu, penulis dapat
menampilkan sisi tertinggal dari sebuah pembangunan kota yang tak merata.
Pembangunan kota yang menyingkirkan tantanan masyrakat tradisonal yang telah
ada sejak puluhan tahun silam. Ironis, apalagi penulis mempelihatkannya dari
sisi masyarakat tradisional tersebut.
Novel ini bukan sekedar novel picisan
yang menceritakan kisah cinta antara laki-laki dan perempuan, namun juga
membantu pembaca memahami dan memaknai cinta tanpa menggurui. Berbeda dengan
cerita roman kebanyakan, novel ini lebih membumi dan tidak cengeng. Novel
ini mengajarkan mengenai penantian,
pengorbanan, kesetian, ketulusan daan kejujuran hati. Novel ini wajib dibaca oleh
mereka yang sedang merenungi dan mencari makna dan arti cinta yang sebenarnya.
Bahkan bagi para remaja juga dianjurkan membaca novel ini, karena dapat
membantu kita mendefinisikan”cinta” tanpa perlu “menggalau” lebih lama.
Novel ini pun wajib baca bagi mereka
yang mencoba memahami kehidupan. Karena semua novel Tere Liye sebelumnya juga
mengajak kita secara arif dan bijaksana merenungi kehidupan. Tere Liye berusaha
memperkenalkan nilai-nilai kehidupan yang telah tertanamam dalam diri kita
untuk dipraktekan dalam kehidupan. Energi kehidupan yang ia sampaikan bukan
dengan cara menggurui membuat pesan –pesan tersebut lebih tersampaikan ke semua
kalangan pembaca. Ya, semangat penulis untuk memandang kehidupan dengan sudut pandang
yang lebih bersahaja, sederhana, dan bijaksana begitu kuat dalam novelnya,
sehingga akan terasa ketika membacanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar